Krisis Beras Aceh: Petani Menggarap Lahan dengan Kecepatan Tinggi
Nah, bayangkan saja: di tengah hujan deras dan tanah longsor yang melanda Aceh, sejumlah petani di Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) justru tengah sibuk menggarap sawah. Meski kondisi alam memang mengguncang, mereka tak menyerah. Tangan mereka bergerak cepat, seperti menjahit luka dengan keuletan. Ini bukan sekadar upaya bertani biasa, tapi langkah heroik untuk memastikan Aceh tidak kehabisan beras di tengah krisis pascabencana. Tapi, bagaimana mereka bisa mengubah keadaan yang terlihat suram menjadi harapan?
Percepatan Tanam untuk Pemulihan Pangan
Sebanyak 8.000 hektare lahan sawah di Abdya sedang digarap secara massal oleh petani lokal. Angka ini seolah menjadi perisai bagi kebutuhan pangan Aceh, yang sekarang harus menghadapi tantangan ekstra. Bencana hidrometeorologi memang menghancurkan, tapi kecepatan tanam ini justru menghadirkan solusi. Mereka ingin mempercepat siklus pertanian, agar panen bisa segera berlangsung dalam tiga bulan ke depan. Jika berhasil, Abdya bisa menjadi penyangga beras yang mengurangi tekanan di daerah terdampak.
“Saat ini kami sedang sibuk menanam padi di sawah. Mudah-mudahan hasilnya nanti melimpah dan surplus agar bisa dipasok ke kabupaten tetangga yang terkena musibah,”
Kutipan Amir, seorang petani dari Kecamatan Tangan-Tangan, justru menggambarkan semangat gotong royong yang menggelegar. Bukan hanya untuk kebutuhan sendiri, tapi juga untuk membagi hasil panen ke daerah lain yang sedang berjuang. Bagaimana mungkin satu sentimen bisa memulihkan pangan di seluruh Aceh? Ini tentu butuh kerja sama yang solid, tapi juga keberanian untuk mengambil langkah cepat.
Bencana yang Mengubah Lahan Persawahan
Setelah melihat laporan terbaru dari Posko Tanggap Darurat Bencana Hidrometeorologi Aceh, skenario ini terasa lebih nyata. Tercatat, 89.337 hektare lahan persawahan mengalami kerusakan parah akibat banjir bandang dan tanah longsor. Angka itu seolah memperlihatkan wajah kota yang tak lagi hijau, tapi penuh luka. Tapi justru di tengah ketidakstabilan itu, para petani Abdya memilih bertindak. Mereka memulai kembali dengan semangat baru, seperti menebar benih di tanah yang pernah hancur.
“Banyak kabupaten di Aceh yang tidak bisa tanam padi karena sawah mereka sudah ditutupi lumpur dan tanah longsor saat bencana banjir melanda,”
Kata-kata Judin, petani dari Kecamatan Setia, seperti peringatan dari masa depan. Jika tidak ada upaya percepatan, Aceh bisa benar-benar mengalami kekurangan beras. Namun, dengan 8.000 hektare lahan yang kini digarap, ada harapan bahwa ketahanan pangan bisa terjaga. Ini bukan sekadar rencana pertanian, tapi juga pertaruhan kehidupan masyarakat Aceh yang mengandalkan beras sebagai pangan pokok.
Kerja Sama Antara Petani dan Pemerintah
Yang menarik, upaya ini tidak hanya dilakukan oleh petani saja. Pemerintah Abdya juga turut mempercepat distribusi benih, pupuk, dan alat mesin pertanian (alsintan) untuk mendukung. Mereka seperti tim penyelamat yang mengirimkan perlengkapan ke medan perang. Dengan kombinasi kerja keras petani dan bantuan pemerintah, proses tanam bisa berjalan lancar. Target 30 persen lahan selesai ditanami sekarang, dan seluruhnya rampung sebelum akhir tahun—langkah yang bisa dibilang
“mengambil waktu di tengah krisis”
.
Ketahanan pangan di Aceh memang sekarang menjadi permainan jaga-jaga. Dengan 8.000 hektare lahan yang dipercepat, mungkin saja krisis beras bisa diatasi. Tapi, kita juga harus ingat: ini hanya langkah pertama. Setiap benih yang ditanam, setiap hari yang dihabiskan untuk memulihkan sawah, adalah investasi untuk masa depan Aceh yang lebih aman dan tangguh. Kita bisa bersyukur, tapi tetap waspada. Karena bencana tak pernah benar-benar pergi, hanya saja kita belajar untuk bertahan.**